Terbuka mata ini dengan penuh dan luas ketika
acap kali negara memplomirkan kesehateraan masyarakat meningkat, negara ini
merupakan negara yang damai. Eknomini negara terus meningkat dan daya beli
masyarakat juga demikian. Namun ketika saya menatap geli sebuah gambar dan
tulisan yang sering kali kita jumpai di bagian belakang Truck-truck angkutan
barang dengan tulisan “piye kabare ? penak jaman ku toh” dan tergambar besar
seorang bapak bangsa yang sudah tiga dekade memimpin negeri ini. Tulisan tersebut
bagi saya sangat memiliki kesan yang
mendalam, teramat dalam sehingga selesai tertawa rasanya ingin menangis.
Kalimat sederhana tersebut menggabarkan bahwa negara pada saat memiliki kelebihan
disegala lini mulai dari kekuasaan, martabat, berdaya saing, mandiri, segala
kebutuhan masyarakat tercapai, percepatan pembangunan dikebut sehingga amper
pun putus karena tidak sanggup menghitung kecepatan pembangunan dalam negeri. Masayarakat
merasa senang sebab terpenuhi kebutuhan nya, Rupiah masih gagah dengan aneka
gambar dan rupanya.
Yang
membuat saya ingin menangis adalah ketika saya membandingkan dengan era saat
ini, pemerintah hanya pandai mengklaim kalau negara ini damai, negara ini
memiliki basis ekonomi yang kuat. Entah menggunakan variable tengik yang
bagaiaman bentuk dan rupanya mereka gunakan, saya pun tidak paham bagaiaman
angka angka statistik tersebut terbentuk sehingga mendapatkan hasil negara ini
sejahtera dan damai. yang saya observasi dengan apa hasil kesimpulan pemerintah
sangat jauh berbeda.
Setiap
100 meter jalan yang dilalui baik didesa ataupun diperkotaan pasti saya bertemu
mereka yang katanya “kurang beruntung hidupnya”, mulai dari anak-anak hingga
yang sudah jompo. Negara ini terhina dengan sikap dan klaim dari pemerintah
yang katanya mengurusi bangsa dan negara ini, sebab didalam relung mata para
penduduk yang kurang berutung tersebut tidak terlihat bahwa mereka
disehjaterakan maupun didamaikan hidupnya oleh para penguasa. Sejalan dengan
itu yang saya lihat adalah sebuah ketidakpastian dalam menatap hari esok,
pertarungan antara kebutuhan dan tuntutan dalam hidup ini. Apakah ini wajah
suatu perdamaian dan kesejahteraan ? saya rasa tidak. Pertanyaan selanjutnya
adalah apakah pemerintah melihat ini semua dari sebagian bidang dari luasnya “tanah”,
bukankah pemimpin mempertangungjawabkan seluruhnya bukan sebidang itu saja ?.
lantas mengapa dengan pongahnya mereka mengklaim keberhasilan, apakah
pemerintah hanya bersandiwara dengan berbagai peran yang bebas mereka pilih. Namun
dalam berbagai pertanyaan tersebut saya mendapatkan satu jawaban pasti bahwa
pemerintah melalukan mal praktek terhadap masyarakat kecil yang mana ujung dari
mal prakek tersebut yang didapatkan hanyalah penderitaan atas kegagalan. Sehingga
efek nya korban dari kegagalan pemerintah tersebut berakibat terhadap
pergeseran makna Tuhan dalam landasan teologi masyarakat.
Seperti kita tahu
kejahatan dan tidak kriminal terkadang bukan hanya sekadar timbul atas dasar
rasa ingin atau niat saja, malainkan keterpaksaan atas pemenuhan kebutuhan
ekonomi. Faktanya saja beberapa tajuk berita yang menginformasikan tentang
hidup seorang pelacur, yang mana awalnya berlandaskan keterbatasan ekonomi. Mereka
rela menjalankan kehidupan susah lagi hina demi merajut kepastian esok lebih
indah dan dapat taubat sebelum Malaikat maut mampir menjemputnya. Ada lagi
seorang bapak yang rela menjual ginjalnya, ada demi keberalangsungan sekolah
anaknya, ada pula karena biaya operasi anak nya dan asih banyak kasus yang
demikian. Mencopet demi menebus bayi, maling demi susu anak dan macem-macem
dalih untuk melakukan hal tersebut. Lantas apakah demikian mereka lupa
meletakkan posisi tuhan dalam hidupnya ?
Tentunya ada namun
tidak stratigis dan sesuia dengan koordinat yang tepat. Mereka terpaksa
memindahkan koordinat tersebut agar dapat mendapat izin sesuai dengan persepsi
kriminalitas dan kedzoliman yang mereka buat. Dikotomi Tuhan dengan prilaku
tersebut bukan muncul instan, melainkan pengaruh besar dari keadaan dan
kebutuhan akan bertahan hidup. Nomenklatur yang mereka sandang pun beragam
mulai dari Tunawisma, Pecundang, sampah, dan hal-hal buruk yang lain. Bahkan hubungan
mereka dengan Tuhan ikut dipertanyakan.
Kerengangan hubungan
mereka dengan Tuhan memang masalah penting dalam suatu kedamaian didalam batin
dan juga kebutuhan badan. Mereka ingin seklai menyudahi hubungan diplomatik
antara mereka dengan Setan. Sehinga panjangnya jarak yang memisahkan dapat
dikikis untuk bersegera merajut perdamaian dengan Tuhan. Dalil ekonomi pun
tidak perlu menjadi rujukan mereka untuk berafiliasi dengan setan dan Iblis. Oleh
sebab itu untuk merubah paradigma tersebut dibutuhkan kelihaian pemerintah
dalam mengelola sumber daya yang tak terbatas yang di Titipkan-nya untuk “dibagi-bagi”
secara merata demi kerukunan berTeologi yang apik.
Namun hal yang perlu
diingat adalah peran dari pada Pemimpin yang dipercaya untuk mengelola sumber
daya yang melimpah diberikan oleh Tuhan tidak semata dipruntuhkan semuanya
terhadap mereka yang punya Kuasa namun disana juga diperuntuhkan untuk para
fakir dan miskin. Sehinnga sepatutnya ketika out put dari proses produksi
sumber daya tersebut ada baiknya diberikan sekitar 5 % kepada masyarakat demi
kedamaian antara mereka dengan Tuhan, bukan hanya bersumber dari pada Pajak
saja, namun memang perlu alokasi tersendiri untuk mereka yang ditidak
beruntungkan hidupnya.
Dan atas dasar yang
sederhana tersebut aku yakin pemimpin dan rakyat tidak lagi dijajah batinnya
dengan kesuksesan masa lalu dengan ungkapan “Piye kabare ? penak zaman ku toh”.
sebab masyarakat seluruhnya merasakan suksesnya pemerintah membina negara. Dan dengan
adanya peran pemerintah yang demikian besar saya pun percaya akan kedamaian dan
kesejahteraan di negara ini. Bukan lagi hanya sekedar klaim lagi, dan saya pun
tidak perlu melihat tatapan penderitaan yang sering dijumpai setiap 100 meter
jalan dinegara ini. Bangsa ini terlalu mahal untuk dijadikan tikus percobaan,
terlalu bernilai untuk ditelantarkan, terlalu tinggi untuk direndahkan hidupnya
dengan dibandingkan dengan mereka yang memang bukan dari Bangsa asli negara
ini, dan terlalu berharga untuk dihina dengan keberpihakan pemerintah terhadap
Investor Tengik penyedot Asi ibu pertiwi ini sehinnga Pribumi asing ditanah
moyang nya sendiri.
Indonesia adalah negeri
dengan sejuta potensi kebaikan jika pemerintahnya arif dan adil dalam
memberlakukan potensi tersebut. Dan Hubungan Antara Tuhan dan masyarakat
sepenuhnya damai dan tidak terpisahkan dengan dalil-dalil ekonomi yang sempit.
0 komentar:
Posting Komentar