Rabu, 23 November 2016

EKONOMI DAN TUHAN

EKONOMI DAN TUHAN



Terbuka mata ini dengan penuh dan luas ketika acap kali negara memplomirkan kesehateraan masyarakat meningkat, negara ini merupakan negara yang damai. Eknomini negara terus meningkat dan daya beli masyarakat juga demikian. Namun ketika saya menatap geli sebuah gambar dan tulisan yang sering kali kita jumpai di bagian belakang Truck-truck angkutan barang dengan tulisan “piye kabare ? penak jaman ku toh” dan tergambar besar seorang bapak bangsa yang sudah tiga dekade memimpin negeri ini. Tulisan tersebut bagi saya sangat memiliki kesan yang  mendalam, teramat dalam sehingga selesai tertawa rasanya ingin menangis. Kalimat sederhana tersebut menggabarkan bahwa negara pada saat memiliki kelebihan disegala lini mulai dari kekuasaan, martabat, berdaya saing, mandiri, segala kebutuhan masyarakat tercapai, percepatan pembangunan dikebut sehingga amper pun putus karena tidak sanggup menghitung kecepatan pembangunan dalam negeri. Masayarakat merasa senang sebab terpenuhi kebutuhan nya, Rupiah masih gagah dengan aneka gambar dan rupanya.
            Yang membuat saya ingin menangis adalah ketika saya membandingkan dengan era saat ini, pemerintah hanya pandai mengklaim kalau negara ini damai, negara ini memiliki basis ekonomi yang kuat. Entah menggunakan variable tengik yang bagaiaman bentuk dan rupanya mereka gunakan, saya pun tidak paham bagaiaman angka angka statistik tersebut terbentuk sehingga mendapatkan hasil negara ini sejahtera dan damai. yang saya observasi dengan apa hasil kesimpulan pemerintah sangat jauh berbeda.
            Setiap 100 meter jalan yang dilalui baik didesa ataupun diperkotaan pasti saya bertemu mereka yang katanya “kurang beruntung hidupnya”, mulai dari anak-anak hingga yang sudah jompo. Negara ini terhina dengan sikap dan klaim dari pemerintah yang katanya mengurusi bangsa dan negara ini, sebab didalam relung mata para penduduk yang kurang berutung tersebut tidak terlihat bahwa mereka disehjaterakan maupun didamaikan hidupnya oleh para penguasa. Sejalan dengan itu yang saya lihat adalah sebuah ketidakpastian dalam menatap hari esok, pertarungan antara kebutuhan dan tuntutan dalam hidup ini. Apakah ini wajah suatu perdamaian dan kesejahteraan ? saya rasa tidak. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah pemerintah melihat ini semua dari sebagian bidang dari luasnya “tanah”, bukankah pemimpin mempertangungjawabkan seluruhnya bukan sebidang itu saja ?. lantas mengapa dengan pongahnya mereka mengklaim keberhasilan, apakah pemerintah hanya bersandiwara dengan berbagai peran yang bebas mereka pilih. Namun dalam berbagai pertanyaan tersebut saya mendapatkan satu jawaban pasti bahwa pemerintah melalukan mal praktek terhadap masyarakat kecil yang mana ujung dari mal prakek tersebut yang didapatkan hanyalah penderitaan atas kegagalan. Sehingga efek nya korban dari kegagalan pemerintah tersebut berakibat terhadap pergeseran makna Tuhan dalam landasan teologi masyarakat.
Seperti kita tahu kejahatan dan tidak kriminal terkadang bukan hanya sekadar timbul atas dasar rasa ingin atau niat saja, malainkan keterpaksaan atas pemenuhan kebutuhan ekonomi. Faktanya saja beberapa tajuk berita yang menginformasikan tentang hidup seorang pelacur, yang mana awalnya berlandaskan keterbatasan ekonomi. Mereka rela menjalankan kehidupan susah lagi hina demi merajut kepastian esok lebih indah dan dapat taubat sebelum Malaikat maut mampir menjemputnya. Ada lagi seorang bapak yang rela menjual ginjalnya, ada demi keberalangsungan sekolah anaknya, ada pula karena biaya operasi anak nya dan asih banyak kasus yang demikian. Mencopet demi menebus bayi, maling demi susu anak dan macem-macem dalih untuk melakukan hal tersebut. Lantas apakah demikian mereka lupa meletakkan posisi tuhan dalam hidupnya ?
Tentunya ada namun tidak stratigis dan sesuia dengan koordinat yang tepat. Mereka terpaksa memindahkan koordinat tersebut agar dapat mendapat izin sesuai dengan persepsi kriminalitas dan kedzoliman yang mereka buat. Dikotomi Tuhan dengan prilaku tersebut bukan muncul instan, melainkan pengaruh besar dari keadaan dan kebutuhan akan bertahan hidup. Nomenklatur yang mereka sandang pun beragam mulai dari Tunawisma, Pecundang, sampah, dan hal-hal buruk yang lain. Bahkan hubungan mereka dengan Tuhan ikut dipertanyakan.
Kerengangan hubungan mereka dengan Tuhan memang masalah penting dalam suatu kedamaian didalam batin dan juga kebutuhan badan. Mereka ingin seklai menyudahi hubungan diplomatik antara mereka dengan Setan. Sehinga panjangnya jarak yang memisahkan dapat dikikis untuk bersegera merajut perdamaian dengan Tuhan. Dalil ekonomi pun tidak perlu menjadi rujukan mereka untuk berafiliasi dengan setan dan Iblis. Oleh sebab itu untuk merubah paradigma tersebut dibutuhkan kelihaian pemerintah dalam mengelola sumber daya yang tak terbatas yang di Titipkan-nya untuk “dibagi-bagi” secara merata demi kerukunan berTeologi yang apik.
Namun hal yang perlu diingat adalah peran dari pada Pemimpin yang dipercaya untuk mengelola sumber daya yang melimpah diberikan oleh Tuhan tidak semata dipruntuhkan semuanya terhadap mereka yang punya Kuasa namun disana juga diperuntuhkan untuk para fakir dan miskin. Sehinnga sepatutnya ketika out put dari proses produksi sumber daya tersebut ada baiknya diberikan sekitar 5 % kepada masyarakat demi kedamaian antara mereka dengan Tuhan, bukan hanya bersumber dari pada Pajak saja, namun memang perlu alokasi tersendiri untuk mereka yang ditidak beruntungkan hidupnya.
Dan atas dasar yang sederhana tersebut aku yakin pemimpin dan rakyat tidak lagi dijajah batinnya dengan kesuksesan masa lalu dengan ungkapan “Piye kabare ? penak zaman ku toh”. sebab masyarakat seluruhnya merasakan suksesnya pemerintah membina negara. Dan dengan adanya peran pemerintah yang demikian besar saya pun percaya akan kedamaian dan kesejahteraan di negara ini. Bukan lagi hanya sekedar klaim lagi, dan saya pun tidak perlu melihat tatapan penderitaan yang sering dijumpai setiap 100 meter jalan dinegara ini. Bangsa ini terlalu mahal untuk dijadikan tikus percobaan, terlalu bernilai untuk ditelantarkan, terlalu tinggi untuk direndahkan hidupnya dengan dibandingkan dengan mereka yang memang bukan dari Bangsa asli negara ini, dan terlalu berharga untuk dihina dengan keberpihakan pemerintah terhadap Investor Tengik penyedot Asi ibu pertiwi ini sehinnga Pribumi asing ditanah moyang nya sendiri.

Indonesia adalah negeri dengan sejuta potensi kebaikan jika pemerintahnya arif dan adil dalam memberlakukan potensi tersebut. Dan Hubungan Antara Tuhan dan masyarakat sepenuhnya damai dan tidak terpisahkan dengan dalil-dalil ekonomi yang sempit.